LATAR BELAKANG
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana
terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa
organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada
perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat
kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah dari luar
yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat
merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik
juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan
dalam rongga dada dan rongga abdomen.
Dua penyebab utama kehilangan darah
dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma
aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan
cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi
akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar
yang luas. Pembahasan utama dari artikel ini adalah syok hipovolemik akibat
kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya. Pembaca dianjurkan
membaca artikel lain untuk mendiskusikan tentang patofisiologi dan penanganan
syok hipovolemik akibat kehilangan cairan dibandingkan darah.
Banyak cedera
yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun 1900-an yang
berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi syok
hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi
cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid
dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan pasien
yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam
menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting
pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain
membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik
traumatik. Namun, peneliti terbaru telah mempertanyakan pedoman ini, dan
sekarang, muncul kontraversi seputar penaganan optimal pada syok
hemoragik.
PATOFISIOLOGI
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan
akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem
hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
Sistem
hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan
mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui
pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber
perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya
menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu
sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi
bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap
syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat
peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus
(diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan
penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan
darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan
traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik
dengan peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan
mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi
menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek
utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu
vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan
akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon
terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam
sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon
terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap
penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak
langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada
tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Patofisiologi dari
syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis sebelumnya. Referensi
untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi. Mekanisme yang rumit
yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi perfusi organ vital pada
kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi
keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan
berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
MANIFESTASI
KLINIS
Riwayat Penyakit
• Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat
hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan
untuk penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar
biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata,
seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status
mental.
• Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan
kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.
• Pada pasien trauma,
menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat
kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi
kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor)
• Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri
•
Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.
• Nyeri
dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh
darah.
• Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang
menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri
perut, nyeri punggung, atau nyeri panggul.
• Pada pasien dengan perdarahan
gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang hematemesis, melena, riwayat
minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang lama, dan
koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting.
o Kronologi
muntah dan hematemesis harus ditentukan.
o Pada pasien dengan hematemesis
setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom
Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis
sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.
• Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan
informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko
kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk
konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya
menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan
negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan
ektopik.
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis seharusnya selalu dimulai
dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi
dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk
tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan
darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis
lambat.
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara
signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi,
frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang
mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan
derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan
persentase volume darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi
tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya
agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi
awal.
• Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
o Tidak ada
komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
o Biasanya tidak terjadi
perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan.
o
Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah
sekitar 10%
• Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
o Gejala
klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan
tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas
ringan .
o Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar
katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan
selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.
• Perdarahan derajat III
(kehilangan darah 30-40%)
o Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi,
penurunan tekanan darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang
signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
o Pada pasien tanpa cedera yang
lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling
kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
o Sebagian besar
pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian darah
seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
• Perdarahan
derajat IV (kehilangan darah >40%)
o Gejala-gejalanya berupa takikardi,
penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik
tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status
mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
o Jumlah
perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.
• Pada pasien dengan
trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari syok. Namun, hal ini
harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya tamponade jantung
(bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi
trakea, suara napas melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit
hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis)
• Ada empat daerah
perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan bagian luar
tubuh.
o Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang
melemah, karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard,
pembuluh darah, atau laserasi paru.
o Abdomen seharusnya diperiksa untuk
menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang menunjukkan cedera
intraabdominal.
o Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau
pembesaran (tanda-tanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).
o Seluruh
tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan luar.
•
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen.
Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit.
Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga
periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.
• Pada pasien hamil, dilakukan
pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun, pada perdarahan trimester ketiga,
pemeriksaan harus dilakukan sebagai “double set-up” di ruang operasi. Periksa
abdomen, uterus,atau adneksa.
Penyebab
Penyebab-penyebab syok
hemoragik adalah trauma, pembuluh darah, gastrointestinal, atau berhubungan
dengan kehamilan
• Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus
atau trauma benda tumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah
sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan
perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada
tengkorak.
• Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak
kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi
arteri-vena.
• Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok
hemoragik antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum,
Mallory-Weiss tears, dan fistula aortointestinal.
• Kelainan yang berhubungan
dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu, plasenta previa, dan
solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik umum terjadi. Syok
hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif
jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.
DIFERENSIAL
DIAGNOSIS
Solusio plasenta Kehamilan ektopik
Aneurisma abdominal
Perdarahan post partum
Aneurisma thoracis Trauma pada kehamilan
Fraktur
femur Syok hemoragik
Fraktur pelvis Syok hipovolemik
Gastritis dan ulkus
peptikum Toksik
Plasenta previa
MASALAH LAIN YANG PERLU
DIPERTIMBANGKAN
Perdarahan gastrointestinal
Trauma tembus
LANGKAH
DIAGNOSIS
Pemeriksaan Laboratorium
• Setelah anamnesis dan pemeriksaan
fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab yang
mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.
•
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis
Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin,
kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma),
dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan
pencocokan.
Pemeriksaan Radiologi
• Pasien dengan hipotensi dan/atau
kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan
ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan
membawa pasien cepat ke ruang operasi. .
• Langkah diagnosis pasien dengan
trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan
darah pada sumber perdarahan.
• Pasien trauma dengan syok hipovolemik
membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai
terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan
gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage
harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus
perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah
pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.
• Tes
kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika
pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi
pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas
tersebut. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok
hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan
negatif jarang, namun pernah dilaporkan.
• Jika dicurigai terjadi diseksi
dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan
transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada.
• Jika
dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused
Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil
atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil.
• Jika
dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan
radiologi.
PENATALAKSANAAN
Penanganan Sebelum di Rumah
Sakit
Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat
kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit
sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit
sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber
perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih
lanjut.
• Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien
trauma. Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan
jika mungkin, dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir
kerusakan neurovaskuler dan kehilangan darah.
• Meskipun pada kasus tertentu
stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke rumah sakit tetap
paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan definitif
pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang
membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti
terlambat dipindahkan sangat berbahaya.
• Intervensi sebelum ke rumah sakit
terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang
adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
• Dalam penanganan
syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik vena,
mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun
oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat
merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.
• Penanganan yang sesuai
biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur,
seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika
pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien
sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat
kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai
dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.
• Pada
tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perdebatan tentang penggunaan Military
Antishock Trousers (MAST). MAST diperkenalkan tahun1960-an dan berdasarkan
banyak kesuksesan yang dilaporkan, hal ini menjadi standar terapi pada
penanganan syok hipovolemik sebelum ke rumah sakit pada akhir tahun 1970-an.
Pada tahun 1980-an, “American College of Surgeon Commite on Trauma” memasukkan
penggunaannya sebagai standar penanganan pasien trauma dengan tanda-tanda dan
gejala-gejala syok. Sejak saat itu, penelitian telah gagal untuk menunjukkan
perbaikan hasil dengan penggunaan MAST. “American College of Surgeon Commite on
Trauma” tidak lama merekomendasikan penggunaan MAST.
Bidang
Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok
hipovolemik antara lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan
ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki
aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi
cairan.
• Memaksimalkan penghantaran oksigen
o Jalan napas pasien
sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi
pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan
patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu
pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan
bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif
yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan
sebaiknya dihindari.
o Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter
besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan
panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter
infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih
penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena
antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan
menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka
digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat
digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya
adalah skill dan pengalaman.
o Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan
pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan
memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.
o Pada
jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah
kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2
liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien
dinilai.
o Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap
stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik
sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika
perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus
dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan
kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi
lanjut).
o Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV),
diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan
darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
o
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya
menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi
yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma
kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan
meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien
dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg
juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran
udara.
o Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma.
Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan
retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari
hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.
• Kontol perdarahan
lanjut
o Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering
memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus
diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam
membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi
untuk mengurangi kehilangan darah.
o Pada pasien dengan nadi yang tidak
teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi
emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai
darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di
ruang operasi.
o Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin
intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan
reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau
splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara
tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan
o Infus
somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan
gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini
membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
o Pada pasien
dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat
dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster
pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut.
Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur
esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut,
penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang
ekstrim.
o Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi
(contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista,
keguguran) memerlukan intervensi bedah.
o Konsultasi segera dan penanganan
yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk
menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan
menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa
pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
o Pada pasien
trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera
yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang
kedatangan pasien. Pada pasien yang berusaia 55 tahun dengan nyeri abdomen,
sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi
adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap
pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
• Apakah kristaloid dan koloid
merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi
dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi,
yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline
hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch,
pentastarch, dan dextran 70.
o Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa
peningkatan tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan
edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti
protein antara ruang intertisiel dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan
hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting
dalam mencegah edama paru)
o Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah
sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah
menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan
hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.
o Larutan koloid
sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh
frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama,
tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap
berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara
teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter
ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan,
atau kelangsungan hidup.
o Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah
dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat
meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat
dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan
larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada
banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk
menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan
untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.
• Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk
mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal sebelum
control perdarahan.
o Selama perang dunia I, Cannon mengamati dan menandai
pasien yang mengalami syok. Dia kemudian mengajukan suatu model hipotensi yang
dapat terjadi pada perlukaan tubuh, dengan minimalisasi intensif perdarahan
selanjutnya.
o Penemuan dari penelitian awal menunjukkan bahwa binatang yang
mengalami perdarahan telah meningkat angka kelangsungan hidupnya jika binatang
ini memperoleh resusitasi cairan. Namun, pada penelitian ini perdarahan dikontol
dengan ligasi setelah binatang tersebut mengalami perdarahan.
o Selama
perang Vietnam dan Korea, resusitasi cairan yang agresif dan akses yang cepat
telah dilakukan. Tercatat bahwa pasien yang segera mendapatkan penanganan
resusitasi yang agresif memperlihatkan hasil yang lebih baik, dan pada tahun
1970-an, prinsip ini diterapkan secara luas pada masyarakat sipil.
o Sejak
saat itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah prinsip ini
valid pada pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol. Sebagian besar dari
penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan angka kelangsungan hidup pada
hipotensi yang berat dan kasus yang terlambat ditangani. Teori ini mengatakan
bahwa peningkatan tekanan menyebabkan perdarahan lebih banyak dan merusak bekuan
darah yang baru terbentuk, di lain pihak hipotensi berat dapat meningkatkan
risiko perfusi otak
o Pertanyaan yang belum terjawab dengan sempurna adalah
sebagai berikut: mekanisme dan pola cedera yang mana yang disetujui untuk
pengisian volume darah sirkulasi? Apakah tekanan darah yang adekuat, tetapi
tidak berlebihan?
o Meskipun beberapa data menunjukkan bahwa tekanan darah
sistolik 80-90 mmHg mungkin adekuat pada trauma tembus pada badan tanpa adanya
cedera kepala, dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
o Rekomendasi terbaru
adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat atau Saline
Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa
memperhatikan penyebab yang mendasari.
PENGOBATAN
Tujuan
farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi
Obat Anti Sekretorik
Obat ini memiliki efek vasokonstriksi
dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta.
Somatostatin
(Zecnil)
Secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan
pankreas dan sel epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat
vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak
menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan
waktu paruh 1-3 menit.
• Dosis
Dewasa : bolus intravena 250 mcg,
dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika
berhasil
Anak-anak
Tidak dianjurkan
• Interaksi
Epinefrin,
demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini.
•
Kontraindikasi
Hipersensitifitas
Kehamilan
Risiko yang fatal
ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat
digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin.
•
Perhatian
Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih;
mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan
hipotiroidisme dan defek konduksi jantung.
Ocreotide
(Sandostatin)
Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki
efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang
lama.
Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula
kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau
pankreas.
• Dosis
Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat
dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg; penanganan hingga 5
hari.
Anak-anak
1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100
ml Saline Normal atau D5W.
• Kontraindikasi
Hipersensitivitas
Kehamilan
Risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan
pada beberapa penelitian pada binatang.
• Perhatian
Efek samping yang
utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk mual,
nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih; hal
ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon
pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung,
dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat
terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal,
kolelithiasis dapat terjadi.
FOLLOW UP
Komplikasi
• Sekuele
neurologi
• Kematian
Prognosis
• Prognosis tergantung derajat
kehilangan cairan
SERBA-SERBI
Medicolegal Pitfalls
• Kesalahan yang
umum terjadi pada penanganan syok hipovolemik adalah gagal mengenali keadaan ini
secara cepat.
o Kesalahan ini menyebabkan keterlambatan diagnosis penyebab
dan penanganan resusitasi pada pasien.
o Kekesalahan ini sering disebabkan
oleh kepercayaan terhadap tekanan darah dan level hematokrit yang lebih besar
dibandingkan tanda-tanda berupa penurunan perfusi perifer, dalam
mendiagnosis.
o Beberapa cedera pada pasien yang mengalami trauma dapat
terlewatkan, khususnya jika pemeriksa memusatkan perhatian hanya pada cedera
yang kelihatan. Kesalahan ini dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan fisis
yang lengkap, secara rutin dan ketat mengamati status pasien dan melakukan
pemeriksaan serial.
o Pasien usia lanjut menunjukkan toleransi yang kurang
terhadap keadaan hipovolemik dibandingkan populasi yang lain. Terapi yang
agresif seharusnya diberikan segera untuk mencegah komplikasi lebih lanjut,
seperti infark miokard dan stroke.
o Pada pasien yang membutuhkan volume
resusitasi yang cukup banyak, harus diperhatikan untuk mencegah hipotermia ,
karena hal ini dapat menyebakan aritmia atau koagulopati. Hipotermia dapat
dicegah dengan menghangatkan cairan intravena yang digunakan untuk penanganan
pasien,
o Pasien yang mengkonsumsi beta bloker, atau calcium channel bloker
dan pada pengguna alat pacu jantung tidak menunjukkan respon takikardi terhadap
hipovolemik; kurangnya respon ini dapat menyebabkan terlambatnya ditegakkan
diagnosis syok. Untuk meminimalkan kemungkinan keterlambatan ini, pada anamnesis
selalu ditanyakan riwayat pengobatan sebelumnya. Pemeriksa seharusnya juga
mengandalkan tanda-tanda penurunan perfusi perifer selain takikardi.
o
Koagulopati dapat terjadi pada pasien yang menerima resusitasi dalam jumlah yang
besar. Hal ini terjadi karena dilusi platelet dan faktor pembekuan darah, tetapi
jarang pada jam pertama resusitasi. Pengetahuan tentang dasar koagulasi
seharusnya digambarkan dan sebagai panduan penanganan platelet dan fresh frozen
plasma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar