Senin, 26 November 2012

PPOK


PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK, bahasa Inggris: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit paru kronik. PPOK ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati.
Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya.
Gangguan aliran udara di dalam saluran napas disebabkan proses inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya kombinasi penyakit saluran napas kecil (small airway disease) dan destruksi parenkim (emfisema).
Gejala dan tanda PPOK, di antaranya adalah: sesak napas, batuk kronik, produksi sputum, dengan riwayat pajanan gas/prtikel berbahaya, disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah

Efusi pleura


EFUSI PLEURA
1. PENDAHULUAN
Dalam masa embriologi membran pleura dibentuk dan mesenchim yang akan memisahkan paru dari mediastinum, diafragma dan dinding dada. Pada prinsipnya pleura dibentuk untuk mempermudah pergerakan paru-paru di rongga dada selama bernapas dan salah satu fungsi yang lain adalah mekanisme penghubung antara paru-paru dengan dinding dada. 1
Pleura terdiri atas pleura visceral yang membungkus permukaan paru dan pleura parietal yang melapisi bagian dalam dinding dada. Di antaranya terdapat rongga yang berisi sedikit cairan sebagai pelumas dalam pergerakan pernapasan. Dalam keadaan normal pada foto toraks tidak dapat diperlihatkan lapisan pleura. 2,3
Pleura dan rongga pleura dapat menjadi tempat sejumlah gangguan yang dapat menghambat pengembangan paru-paru atau alveolus atau keduanya. Keadaan ini dapat diakibatkan penekanan pada paru-paru salah satunya akibat penimbunan cairan dalam rongga pleura. 1
2. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya penmpukan cairan di dalam rongga pleura. Efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita. 2
3. PATOFISIOLOGI
Tekanan hidrostatik normal di dalam kapiler pleura parietal kemungkinan sama dengan tekanan di kapiler-kapiler sistemik dengan rata-rata 25 mmHg, sedangkan tekanan intrapleura sedikit di bawah atmosfir dengan rata-rata –3 mmHg, memungkinkan filtrasi cairan. Kebalikannya yaitu tekanan onkotik yang mana tekanan onkotik tersebut lebih tinggi di plasma daripada di cairan pleura sehingga memungkinkan reabsorpsi. 4
Pada kapiler di pleura visceral, keseimbangan antara tekanan hidrostatik dengan onkotik adalah berlawanan, walaupun begitu tekanan onkotiknya sama dengan di kapiler pleura parietal dan tekanan hidrostatik dan onkotiknya yang memungkinkan terjadinya reabsorpsi di pleura visceral yang hasil akhirnya karena ada keseimbangan antara filtrasi dari plura parietal dengan reabsorpsi dipertahankan minimal. 4
Tekanan hidrostatik kapiler dinding dada adalah 22 mmHg sedangkan tekanan di dalam rongga pleura –5 mmHg sehingga tekanan mendorong filtrasi besarnya 22 + 5 = 27 mmHg. Tekanan osmotik koloidal darah di pleura parietalis 25 mmHg dan tekanan osmotik di rongga pleura 6 mmHg, artinya tekanan menghambat filtrasi di pleura parietalis 25 – 6 = 19 mmHg, sehingga tekanan total yang mendorong filtrasi di pleura parietal adalah 27 – 19 = 8 mmHg. Dengan cara yang sama didapatkan tekanan total yang mendorong reabsorpsi di pleura visceral yaitu sebesar 4 mmHg. 4
Akumulasi cairan yang berupa transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan tekanan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya. 1,4
Eksudat merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran kapiler yang permiabel abnormal (meninggi) dan berisi protein berkonsentrasi tinggi. Terjadinya perubahan permeabilitas membran adalah karena adanya peradangan pada pleura. Akibat meningkatnya permeabilitas kapiler dapat menyebabkan bocornya pembuluh darah menyebabkan cairan eksudat kaya akan protein dan sel. 1,2,3,4
Peningkatan permeabilitas kapiler pleura karena radang, bertambah masuknya protein dan cairan ke rongga pleura, sistem limfe yang tidak adekuat dan metastase tumor ganas dapat menambahkan jumlah cairan dan konsentrasi protein dan sel-sel di rongga pleura. 1,2,3,4
4. ETIOLOGI
Ada dua penyebab efusi pleura yaitu transudat dan eksudat. 1,2,3,4
4.1. Transudat
Pada cairan transudat, selain memiliki serum protein yang rendah (< 0,5) juga memiliki LDH yang rendah (< 0,6).
Penyebab utama terjadinya cairan transudat ini adalah:
§ Sindroma nefrotik
§ Sirosis hepatis
§ Sindroma Meig’s
§ Tumor
4.2. Eksudat
Pada cairan eksudat kadar protein lebih tinggi dari 0,5 gram/100 cc cairan efusi dan kadar LDH lebih tinggi dari 0,6.
Terjadinya eksudat antara lain disebabkan oleh:
§ Infeksi paru akibat: pneumococcus, staphylococcus, haemophillus, tuberculosa dan kuman gram negatif yaitu psudomonas aeroginosa.
§ Neoplasma
§ Infark paru.
5. DIAGNOSIS
5.1. Pemeriksaan Klinis
Nyeri dada dan pergerakan rongga dada berkurang merupakan tanda utama. Tanda nyeri dada pada inspirasi yang disebabkan peradangan pleura, tetapi nyeri tersebut menghilang bila terjadi akumulasi cairan yang memisahkan kedua permukaan pleura. Bunyi gesek pleura dapat didengar sebelum adanya cairan efusi, dan terdengar baik pada ekspirasi. Kadang-kadang bunyi tersebut sukar dibedakan dengan bunyi ronkhi. Untuk membedakannya pasien diperintahkan untuk batuk, biasanya suara ronkhi akan menghilang sedangkan bunyi gesek pleura akan tetap terdengar. Tetapi hal ini sulit
dilakukan pada bayi. 1,2,3,4,5
Sesak napas dapat bersifat ringan, sedang atau berat namun adakalanya tidak ada gejala sesak napas karena hal ini tergantung banyaknya cairan di rongga pleura. Gejala lainnya seperti demam, batuk, berkeringat, batuk darah, berat badan menurun, dan lainnya tergantung pada etiologi. 1,2
Efusi pleura sulit dideteksi dengan pemeriksaan fisik bila akumulasi cairannya sedikit, tetapi bila akumulasi cairannya banyak (300 – 500 ml) maka akan terlihat pergerakan dinding dada yang sakit, pada perkusi akan didapatkan bunyi beda/pekak, stem fremitusnya tidak ada, dan suara pernapasan menghilang sampai tidak terdengar. 1,3
Di atas permukaan efusi akan timbul penekanan paru-paru oleh efusi mengakibatkan penurunan kapasitas paru dan pada pemeriksaan fisik di dapatkan gambaran konsolidasi juga dijumpai pernapasan bronchial. 3,4,5
5.2. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan ini mempunyai nilai yang tinggi dalam mendiagnosis efusi pleura. Karena cairan cenderung berakumulasi di tempat yang rendah, maka pertama kali dilihat pada foto pasien dengan posisi berdiri dan foto lateral pada sudut costofrenikus, sebagai gambaran perselubungan padat dan homogen dengan jumlah cairan paling sedikit antara 100 – 300 ml. Pada pasien dengan efusi yang sangat sedikit (< 200 ml) dapat ditemukan dengan foto dengan posisi lateral decubitus. 2,3
Beberapa penyimpangan yang biasa dijumpai seperti akumulasi cairan di antara diafragma dengan permukaan inferior paru (efusi intra pulmonal), yang mana kecurigaan ditunjukan dengan kenaikan satu atau dua diafragma tanpa sebab yang jelas. Ini dapat ditunjukan dari peningkatan jarak antara permukaan bawah kiri paru dengan permukaan atas lambung (lebih dari 2 cm), dan efusi intra pulmonal kanan dapat dicurigai dengan terlihatnya fisura minor semakin dekat ke diafragma. Pada posisi lateral dekubitus efusi akan nampak yang mana sairan yang terletak di atas diafragma pindah ke posisi lateral dada. 2
Kadang-kadang dijumpai efusi yanga terakumulasi di sekeliling lobus tertentu, yang disangka sebagai konsolidasi lobus. Cairan efusi juga dapat mengumpul dipara-
mediastinal, difisura interlobaris atau paralel dengan batas jantung (kardiomegali). 1
Berdasarkan foto dada efusi pleura dibagi atas tiga klasifikasi (oleh Martenson dan Himelman), yaitu: 1,2
§ Sedikit, bila cairan hanya menutupi sinus costofrenikus tidak sampai menutupi seluruh permukaan diafragma.
§ Sedang, bila batas meniskus cairan mencapai 1/3 rongga dada.
§ Banyak/masif, lebih dari sedang.
Selain foto dada, diagnosa efusi pleura dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG dan CT Scan dada.
5.3. Torakosentesis
Torakosentesis dilakukan untuk tujuan mencari penyebab ataupun menghilangkan rasa sesak dengan cara mengeluarkan cairan serta memasukan antibiotik dan antiseptik ke rongga pleura pasien. Kontra indikasi adalah pada pasien yang mengalami kelainan pembekuan darah. Torakosentesis dilakukan pada posisi duduk, untuk menentukan batas atas dari efusi dapat diketahui dengan pemeriksaan fisik. Torakosentesis dilakukan di sela iga di linea aksilaris, linea aksilaris posterior ujung tulang belikat dan linea aksilaris anterior di bawah permukaan cairan, dan permukaan kulit tempat tusukan harus bebas dari segala penyakit dan jarum tusukan sedalam 5 – 10 cm ke arah vertebra. 1,2,3
5.4. Analisa Cairan Pleura
Normal cairan pleura seperti air, tidak berwarna dan tidak berbau. 1
Komposisi normal cairan pleura
Volume : 0,1 – 0,2 ml/kg
Sel/mm3 : 1.000 – 5.000
% sel mesothelial : 3 – 70%
% monosit : 30 – 75%
% limfosit : 2 – 30%
% granulosit : 10%
Protein : 1 – 2 g/dl
% albumin : 50 – 70%
Glukosa : sama dengan kadar plasma
LDH : < 50% kadar plasma
Warna Cairan. Cairan transudat biasanya berwarna jernih dan kekuning-kuningan. Sedangkan cairan yang banyak mengandung protein dan sel serta cairan makin keruh disebut cairan eksudat. 1,2,3,4,5
Kultur Bakteriologi. Biasanya cairan pleura steril tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme seperti pneumococcus, klebsiella, pseudomonas, enterobacter, dan tuberculosa. 1,2,3,4,5
Sitologi. Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnosis penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau sel-sel tertentu, yaitu: 2
Sel-sel patologis pada cairan pleura
Sel neutrofil : menunjukan adanya infeksi akut
Sel limfosit : menunjukan adanya infeksi kronis, seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma malignum
Sel mesotel : bila jumlahnya meningkat, ini menunjukan adanya infark paru
Sel mesotel maligna : pada mesotelioma
Sel-sel besar dengan banyak inti : pada arthritis rheumatoid
Sel LE : pada lupus eritematosus sistemik
Biokimia. Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah: 2,4
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi (g/dl) < 3 > 3
Kadar protein dalam efusi
Kadar protein dalam serum < 0,5 > 0,5
Kadar LDH dalam efusi (IU) < 200 > 200
Kadar LDH dalam efusi
Kadar LDH dalam serum < 0,6 > 0,6
Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016
Rivalta Negatif Positif
Selain test di atas dapat juga dilakukan tes-tes khusus, antara lain: 2
Transudat Eksudat
Eritrosit < 10.000 /mm3 > 100.000 /mm3 menggambarkan neoplasma, infark, trauma
> 10.000 < 100.000 /mm3 tidak dapat ditentuk
Leukosit < 1.000 /mm3 Biasanya > 1.000 /mm3
Hitung jenis leukosit Biasanya > 50% limfosit atau sel mononukleus > 50% limfosit (tuberkulosis, neoplasma)
> 50% polimorfonullear (radang akut)
PH > 7,3 < 7,3 (radang) Glukosa Sama seperti darah (+) Rendah (infeksi) Sangat rendah (arthritis rheumatoid, kadang-kadang neoplasma Amilase > 500 unit/ml (pankreatitis: kadang-kadang neoplasma, infeksi)
Protein spesifik Komponen komplemen C3, C4 rendah (SLE, arthritis rheumatoid)
Faktor rheumatoid
Faktor anti nukleus
5.5. Tes Tuberkulin
5.6. Kultur darah/sputum
5.7. Biopsi Pleura
Biopsi pleura parietalis merupakan yang paling baik untuk mendiagnosa efusi pleura. Umumnya biopsi pleura dilakukan setelah torakosentesis.
Dapat dilakukan bila ternyata hasil biopsi pertama tidak memuaskan atau dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. 2,3
6. PROGNOSIS
Malignant pleural effusion mempunyai prognosis yang jelek. Efusi pleura yang tidak tertangani dengan baik dapat menimbulkan fibrotoraks. 3,4
7. PENATALAKSANAAN
§ Atasi sesak napas dengan cara membersihkan jalan napas dan beri oksigen.
§ Obati penyakit yang mendasarinya (penyebab).
§ Torakosentesis (pungsi).
Merupakan suatu tindakan pengambilan cairan pleura dengan tujuan untuk membedakan apakah cairan tersebut transudat, eksudat atau emphyema. Untuk itu perlu dipasang WSD (Underwater Seal Drainage). WSD adalah cara yang paling efektif untuk membuat katub, dimana udara dan cairan dapat dikeluarkan dari toraks.
Dalam melakukan pemasangan WSD perlu diingat:
ü Harus tidak ada kebocoran
ü Diklem bila botol tidak digunakan
ü Posisi botol harus di bawah toraks
ü Metode harus asepsis
ü Drain harus diangkat setelah 24 jam
ü Pipa dada harus diganti selama 7 – 10 hari digunakan.
§ Bila cairan yang terlalu banyak, dimana perlu dilakukan tindakan pungsi yang berulang-ulang sehingga dapat menyebabkan gangguan elektrolit, maka perlu dilakukan pleurodesis.
§ Operasi.
Menjahit pleura parietalis dengan pleura visceralis. Tujuannya agar bersatu, sehingga tidak terbentuk cairan yang sifatnya irreversibel. 3,4,5

Selasa, 06 Maret 2012

Masalah Gizi Buruk dan tanda tanda klinisnya

Dari berbagai penelitian epidemiologi masalah Kurang Energi Protein selalu diawali dengan keadaan lapar  yaitu Rasa “tidak enak” dan sakit akibat kurang /tidak makan,baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja diluar kehendak dan terjadi berulang-ulang, serta dalam jangka waktu tertentu menyebabkan penurunan berat badan dan gangguan kesehatan. Selanjutnya keadaan ini didefiniskan  dengan istilah kelaparan (E. Kennedy, 2002)
Jadi sangatlah jelas penyebab dari kurang energy protein (KEP) adalah makanan yang tidak adekuat maksudnya  intake makanan yang sangat kurang dari kebutuhan akan zat gizi tubuh. Walaupun pada dasarnya Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) sangat tergantung dari :
  1. Karakteristik individu (umur, cadangan nutrient)
  2. Waktu dan hebatnya berlangsung defisiensi
  3. Jenis makanan yang tersedia /dikonsumsi
  4. Lingkungan terutama sanitasi lingkungan
  5. Kesehatan perorangan
  6. Dan pada anak sangat tergantung dari pola asuh orang tua yang diberikan kepada sang anak.
Tetapi tetap saja Kurang Energi Protein disebabkan  intake makanan yang sangat kurang dari kebutuhan akan zat gizi tubuh yang telah berlangsung lama (kronis). Bentuk KEP tergantung dari zat gizi utama kurang edekuat, bila kurang dalam hal protein dan tubuh diharuskan menggunakan protein tubuh maka gejala-gejala klinis dari kekurangan protein akan muncul, keadaan ini biasa diistilahkan dengan Kwashiorkor. Dan bila kekurangan Energi saja —–terutama energi yang bersumber dari karbohidrat——-maka gejala klinis yang muncul adalah  kekurangan cadangan energy atau energy tubuh benar-benar habis bahkan sel-sel dan jaringan tubuh dirombak untuk dipergunakan sebagai energi, tubuhnya akan terlihat sangat buruk, keadaan ini biasa diistilahkan dengan Marasmus. Tidak jarang juga ditemukan bentuk KEP sebagai akibat kurang adekuat makanan akan protein dan energy (Marasmus-Kwashiorkor). Kesemua itu adalah bentuk-bentuk dari Malnutrisi (kurang Energi Protein).
Bentuk  Malnutrisi (Kurang Energi Protein)
  1. Dewasa dibagi dalam  dua bentuk  yaitu Undernutrition (Kurang Zat Gizi) dan Starvation (Kelaparan)
  2. Anak-anak  dalam bentuk PEM- Protein Energi Malnutrition ( menurut JELLIFFE  mencakup seluruh kelompok umur anak) dikelompok menjadi : PEM ringan, PEM sedang dan PEM berat   yang terdiri dari Merasmus, Kwashiorkor dan Merasmus –kwashiorkor.
Walaupun semua adalah Malnutrisi tetapi masing-masing mempunyai gejala klinis sendiri-sendiri baik marasmus, kwashiorkor, maupun marasmus-kwashiorkor.
.

Gejala Klinis dari Marasmus 

Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari marasmus adalah
  1. Wajah seperti orang tua
  2. Cengen dan Rewel
  3. Sering disertai: peny. infeksi (diare, umumnya kronis berulang, TBC)
  4. Tampak sangat kurus (tulang terbungkus kulit)
  5. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (~pakai celana longgar-baggy pants)
  6. Perut cekung
  7. Iga gambang

Gejala Klinis  Kwashiorkor

Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari kwashiorkor adalah
  1. Rambut tipis, merah spt warna
  2. Edema (pd kedua punggung kaki,  bisa seluruh tubuh)
  3. rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok
  4. Kelainan kulit (dermatosis)
  5. Wajah membulat dan sembab
  6. Pandangan mata sayu
  7. Pembesaran hati
  8. Sering disertai: peny. infeksi akut,  diare, ISPA dll
  9. Apatis & rewel
  10. Otot mengecil (hipotrofi),

Gejala Klinis Marasmus-Kwashiorkor

Gejala Klinis Kurang Energi Protein (KEP) dari Marasmus-kwashiorkor   pada dasarnya adalah campuran dari  gejala marasmus dan kwashiorkor, cirri khas yang dapat terlihat secara klinis yakni :
  1. Beberapa gejala klinik marasmus,  terlihat sangat buruk dalam hal Berat Badan (BB/U)  berada dibawah < -3 SD dan bila di konfirmasi dengan BB/TB  dikategorikan sangat kurus: BB/TB < – 3 SD).
  2. Kwashiorkorm secara klinis terlihat disertai edema yang  tidak mencolok pada kedua punggung kaki
Anak-anak gizi buruk dengan tanda-tanda klinis ini dapat di deteksi keKurangan  Energi Proteinnya  melalui
  1. Penimbangan bulanan di Posyandu termasuk upaya-upaya kejar timbangnya
  2. Surveilens gizi/KLB Gizi Buruk
  3. Manajemen Terpadu Balita Sakit
  4. Poliklinik KIA/Tumbuh Kembang
Tidak jarang hasil deteksi Gizi Buruk  pada anak dikarenakan telah terjadi gagal pertumbuhan yang penyebabnya hanya karena kurang perhatian dan pedulinya orang tua terhadap tumbuh-kembang sang anak. Dari hasil penelitian ahli tumbuh kembang anak, ada empat alasan mengapa terjadi gagal pertumbuhan yaitu
  1. Bayi tidak cukup mendapat makanan, khususnya makanan pendamping
  2. Anak-anak memerlukan kata-kata lembut dan sentuhan-sentuhan penuh kasih sayang yang dapat merangsang peningkatan hormon pertumbuhan dan daya tahan tubuh.
  3. Bayi bertambah aktif ketika mulai belajar berjalan.  Kebutuhan makanan perlu ditambah, namun banyak ibu tidak memberikan tambahan. Output tidak sesuai dengan input
  4. Penyakit dan infeksi mempengaruhi penggunaan zat gizi dalam makanan. Selain itu juga menyebabkan nafsu makan berkurang sehingga zat makanan yang masuk dalam tubuh sedikit.
Seharusnya  ini tidak boleh terjadi……..

Senin, 05 Maret 2012

Anatomi sistem pencernaan


  • ANATOMI SISTEM PENCERNAAN ANDIKAWATI F S.Kep Ns
  • Tujuan Pembelajaran
    • Setelah mengikuti pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami:
    • 1. organ-organ dalam sistem pencernaan
    • 2. anatomi mulut, faring, osofagus
    • 3. anatomi gaster
    • 4. anatomi usus besar dan usus kecil
    • 5. anatomi anus
  • PENGERTIAN
    • Sistem pencernaan (mulai dari mulut sampai anus) berfungsi :
    • - menerima makanan
    • - memecah makanan menjadi zat-zat gizi (pencernaan)
    • - menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah
    • - membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna dari tubuh.
    • Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.
    • Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
  • SUSUNAN
    • Mulut
    • Faring
    • Osofagus
    • Ventrikulus / Gaster (Lambung)
    • Intestinum minor (usus halus)
    • Intestinum mayor (usus besar)
    • Rektum
    • Anus
  •  
    • Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan dikunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna.
    • Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya.
    • Pada saat makan, aliran dari ludah membersihkan bakteri yang bisa menyebabkan pembusukan gigi dan kelainan lainnya.
    • Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung.
    • Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis.
    • Epiglotis akan tertutup agar makanan tidak masuk ke dalam pipa udara (trakea) dan ke paru-paru, sedangkan bagian atap mulut sebelah belakang (palatum mole, langit-langit lunak) terangkat agar makanan tidak masuk ke dalam hidung.
    • Kerongkongan (esofagus) merupakan saluran berotot yang berdinding tipis dan dilapisi oleh selaput lendir.
    • Kerongkongan menghubungkan tenggorokan dengan lambung.
    • Makanan didorong melalui kerongkongan bukan oleh gaya tarik bumi, tetapi oleh gelombang kontraksi dan relaksasi otot ritmik yang disebut dengan PERISTALTIK
  • MULUT
    • Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan dan sistem pernafasan.
    • Merupakan permulaan dari sal.pencernaan yg tdd :
    • Bagian luar yang sempit/ vestibula, yaitu ruang ant gusi, gigi, pipi
    • Bagian dalam / rongga mulut, dibatasi
    • - sisi-sisinya : tulang maxilaris & semua gigi
    • - Atas : Palatum
    • - Dasar : Lingua
    • - Belakang : Mandibularis yg bersambung dg pharink
  •  
    • BIBIR
    • Bibir terdiri dari lipatan-lipatan muskuler yang mengelilingi mulut
    • Dalam bibir tedapat : M.ORBICULARIS ORIS,
    • pembuluh darah dan N.Labialis superior & N.Labialis inferior
    • Struktur ini keluar ditutupi oleh kulit dan kedalam oleh membran mukosa
    • PIPI
    • Mempunyai struktur yg sama dengan bibir
    • Otot utama dr pipi adalah M.BUCCINATOR
    • Fungsi : Menekan pipi kpd gigi – gigi geraham & mendorong makanan ke permukaan gigi supaya makanan tetap berada diantara gigi geraham pada saat dikunyah.
    • Bagian dalam pipi dilapisis oleh mukosa yang mengandung papila - papila
  • GIGI
    • 1. Gigi sulung (gigi susu)
    • - Tumbuh pd anak usia 6 – 8 bln dan lengkap
    • pd usia 2,5 tahun
    • - Jumlahnya 20 buah : 8 incicivus, 4 caninus, 8 premolar
    • 2. Gigi tetap / permanen
    • - Tumbuh pd usia 6 – 18 tahun
    • - Jumlahnya 32 buah : 8 incicivus, 4 caninus,
    • 8 premolar, 12 molar
  • FUNGSI GIGI
    • Fungsi gigi :
    • Incicivus : memotong makanan
    • Caninus : Memutuskan makanan yang keras
    • Molar : mengunyah makanan yang sudah dipotong-potong
  • PALATUM
    • Palatum ada 2 :
    • Palatum durum ( keras )
    • Palatum molle ( lunak) yg terdiri dari jaringan fibrosus dan selaput lendir. Ditengah palatum molle menggantung sebuah prosesus berbentuk kerucut yang disebut UVULA
  • LIDAH
    • Lidah terletak didasar mulut, merupakan organ yg berotot yg dpt bergerak
    • Fungsi utama : Mendorong makanan ke pharynx sewaktu menelan & mengucapkan kata – kata sewaktu berbicara
    • Fungsi lain : Mengaduk mekanan, alat pengecap dan merasakan makanan
    • Lidah dibagi mjd 3 bagian :
    • - Radix lingua ( pangkal lidah )
    • - Dorsum lingua ( punggung lidah )
    • - Apeks lingua ( ujung lidah)
    • Pada pangkal lidah tdp “EPIGLOTIS”
    • Punggung lidah bersifat kasar krn adanya “PAPILLAE LINGUAE”
    • Puting-putting pengecap atau ujung saraf pengecap
    • Ada 4 macam rasa kecapan pada lidah : Manis, asin, asam dan pahit
  •  
  •  
  • KELENJAR SALIVA
    • Ada 3 : K. Parotis, K. Submandibularis,K. Sublingualis
    • 1. Kelenjar parotis :
    • - Terbesar diantara kedua kelenjar lainnya
    • - Terletak didepan bawah telinga diantara prosesus mastoid kiri & kanan os mandibularis
    • - Ductus stensoni menembus M.Buccinator &
    • dan bermuara dipipi sebelah dalam, berhadapan
    • molar kedua atas
    • 2. Kelenjar Submandibularis
    • Terletak dibawah kedua sisi tulang rahang
    • Duktus wartoni melintas disebelah dalam nervus lengualis & bermuara di lubang yang terdapat pd satu papil kecil disamping frenulum linguae. Muara ini mudah dilihat bahkan sering terlihat liur yg keluar.
    • 3. Kelenjar Sublingualis
    • - Kelenjar yg terkecil diantara kelenjar yg lain
    • - Letaknya dibawah selaput lendir dasar rongga mulut bermuara di dasar rongga mulut
    • Fungsi kelenjar Saliva :
    • Mengeluarkan saliva, dimana berfungsi untuk membantu dalam proses pencernaan
  •  
  • FARING
    • Mrpk organ yg menghubungkan rongga mulut dg esofagus (kerongkongan)
    • Terletak dibelakang rongga hidung dan rongga mulut, didepan ruas tulang belakang
    • Faring dibagi mjd 3 bagian :
    • 1. Nasofaring : bermuara tuba eustachi
    • 2. Orofaring : terletak dibelakang mulut
    • 3. Laringofaring : menghubungkan antara orofaring dengan laring
  •  
  • ESOFAGUS
    • Mrpk saluran yg menghubungkan antara faring dengan lambung, panjangnya sekitar + 25 cm
    • Terletak dibelakang trakhea dan didepan tulang punggung. Osofagus menembus diagfragma masuk kedalam abdomen dan menyambung dengan lambung
    • Lapisan dari osofagus : lapisan Selaput lendir, Lapisan sub mukosa, Lapisan otot melingkar dan lapisan otot memnjang longitudinal
  •  
  • LAMBUNG
    • Terletak di bagian atas abdomen, terbentang dari permukaan bawah costalis sinistra sampai regio epigastrica dan umbilicalis
    • Mempunyai 2 lubang:
    • Ostium cardia
    • Ostium pylorum
    • Mempunyai 3 bagian:
    • cardia
    • fundus
    • pylorus
    • CARDIA
    • Kel jantung, ditemukan di regia mulut jantung
    • ini hanya mensekresi mukus
    • FUNDUS
    • bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri ostium kardium dan biasanya berisi gas
    • PILORUS
    • terletak pada regio antrum pilorus
    • mensekresi gastrin dan mukus yang berpengaruh besar dalam proses sekresi lambung
  •  
    • Susunan lapisan dari dalam keluar, terdiri dari:
    • Lapisan selaput lendir, apabila dikosongkan, lapisan akan berlipat-lipat disebut RUGAE
    • Lapisan otot melingkar (muskulus aurikularis)
    • Lapisan otot miring (muskulus obliqus)
    • Lapisan otot panjang (muskulus longitudinal)
    • Lapisan jaringan ikat/serosa (Peritonium)
  • FUNGSI LAMBUNG
    • Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung.
    • Getah cerna lambung yang dihasilkan:
    • 1. PEPSIN, fx memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton)
    • 2. ASAM GARAM (HCL), fx mengasamkan makanan, sebagai antiseptik dan desinfektan dan membuat suasanan asam pada pepsinogen menjadi pepsin
    • 3. RENIN, fx sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein dan karsinogen (kasinogen dan protein susu)
    • 4. LAPISAN LAMBUNG, fx memecah lemak menjadi asam lemak yang merangsang sekresi getah lambung
  •  
  • INTESTINUM MINOR
    • Merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil pencernaan
    • Terdiri dari:
    • 1. lapisan mukosa (sebelah dalam)
    • 2. lapisan otot melingkar (M. sirkuler)
    • 3. lapisan otot memnjang (M.longitudinal)
    • 4. lapisan serosa (sebelah luar)
  • Duodenum
    • Disebut juga usus 12 jari panjangnya ± 25 cm
    • Berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini terdapat pankreas
    • Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, disebut kelenjar Brunner, berfungsi untuk memproduksi getah intestinum
  • YEYUNUM dan ILEUM
    • Mempunyai panjang ± 6 meter.
    • Dua perlima bagian atas adalah YEYUNUM dengan panjang ± 2-3meter
    • Dan ileum panjang ± 4-5meter
    • Ujung bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantara lubang yang bernama ORIFISIUM ILEOSEIKALIS
    • Pada bagian ini terdapat katup Valvula Baukini yang berfungsi mencegah cairan dalam kolon asendens tidak masuk kembali dalam ileum
  • FUNGSI USUS HALUS
    • Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah dan sal limfe
    • Menyerap protein dalam bentuk asam amino
    • Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida
    • Menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan (enterokinase, Laktase, Maltosa, sukrosa)
  • INTESTINUM MAYOR
    • Panjangnya ± 1,5meter lebarnya 5-6cm
    • Lapisan usus besar dari dalam ke luar, terdiri dari:
    • Selaput lendir
    • Lapisan otot melingkar
    • Lapisan otot memanjang
    • Jaringan ikat
  • FUNGSI USUS BESAR
    • Menyerap air dari makanan
    • Tempat feses
    • melumasi dan membantu mengeluarkan feses
  •  
  •  
  • SEIKUM
    • Di bawah seikum terdapat appendiks Vermiformis yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut Umbai Cacing
    • Seluruhnya ditutupi oleh peritonium mudah bergerak dan dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup
  • Kolon Asendens
    • Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati
    • Di bawah hati membengkok ke kiri, lengkungan ini disebut Fleksura Hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum
  • Kolon Transversum
    • Panjangnya ± 38 cm
    • Membujur dari kolon asendens sampai ke kolon desendens berada dibawah abdomen,
    • Sebelah kanan terdapat Fleksura Hepatika dan sebelah kiri terdapat Fleksura Lienalis
  • Kolon Desendens
    • Panjangnya ± 25 cm
    • Terletak dibawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke bawah dari Fleksura Lienalis sampai ke depan ileum kiri bersambung dengan kolon sigmoid
  • Kolon Sigmoid
    • Merupakan lanjutan dari kolon decendens, terletak miring dalam rongga pelvis sebelah kiri bentuknya menyerupai bentuk S, ujung bawahnya berhubungan dengan rektum
  •  
  • Rektum
    • Terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os coccygis
  • Anus
    • Bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan dengan rektum dengan dunia luar (udara luar).
    • Terletak didasar pelvis, dindingnya diperkuat 3 spincter:
    • 1. spincter Ani Internus, bekerja tidak menurut kehendak
    • 2. Spincter Levator Ani, bekerja juga tidak menurut kehendak
    • 3. Spincter Ani Eksternus, bekerja menurut kehendak

Sabtu, 03 Maret 2012

LARUTAN ELEKTROLIT

Definisi larutan elektrolit adalah larutan yang molekul-molekulnya dapat terurai menjadi ion-ion sehingga dapat menghantarkan listrik. Laurtan ini dapat berupa asam, basa dan garam. Larutan elektrolit terbagi menjadi :

Elektrolit kuat yaitu elektrolit yang menghasilkan banyak ion. Senyawa elektrolit ini sangat mudah mengalami isolasi contohnya larutan garam dapur, larutan asam klorida, dan larutan asam sulfat.
Elektrolit lemah, yaitu elektrolit yang menghasilkan sedikit ion. Larutan ini sukar mengalami ionisasi contoh larutan asam cuka dan larutan ammonium hidroksida.

HYPONATREMIA

Hyponatremia merujuk pada tingkat sodium dalam darah yang lebih rendah dari normal. Sodium adalah penting untuk banyak fungsi-fungsi tubuh termasuk pemeliharaan keseimbangan cairan, pengaturan dari tekanan darah, dan fungsi normal dari sistim syaraf.


Sodium adalah ion yang bermuatan positif utama (cation) dalam cairan diluar sel-sel tubuh. Cara menulis kimia untuk sodium adalah Na. Ketika digabungkan dengan chloride (Cl), unsur yang berakibat darinya adalah garam dapur (NaCl).

Tingkat sodium darah yang normal adalah 135 - 145 milliEquivalents/liter (mEq/L), atau dalam international units, 135 - 145 millimoles/liter (mmol/L). Hasil-hasil mungkin bervariasi sedikit diantara laboratorium-laboratorium yang berbeda.
Penyebab Hyponatremia (sodium darah yang rendah)

Tingkat sodium yang rendah dalam darah mungkin berakibat dari kelebihan air atau cairan dalam tubuh, mengencerkan jumlah yang normal dari sodium sehingga konsetrasinya nampak rendah. Tipe dari hyponatremia ini dapat menjadi hasil dari kondisi-kondisi kronis seperti gagal ginjal (ketika kelebihan cairan tidak dapat disekresikan atau dikeluarkan secara efisien) dan gagal jantung congestive, dimana kelebihan cairan berakumulasi dalam tubuh. SIADH (syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone) adalah penyakit dengan mana tubuh menghasilkan terlalu banyak hormon anti-diuretik atau anti-diuretic hormone (ADH), berakibat pada penahanan air dalam tubuh. Mengkonsumsi air yang berlebihan, contohnya selama latihan yang berat, tanpa penggantian sodium yang cukup, dapat juga berakibat pada hyponatremia.

Hyponatremia dapat juga berakibat ketika sodium hilang dari tubuh atau ketika keduanya sodium dan cairan hilang dari tubuh, contohnya, selama berkeringat yang berkepanjangan dan muntah atau diare yang parah.

Kondisi-kondisi medis yang dapat adakalanya dihubungkan dengan hyponatremia adalah kekurangan adrenal, hypothyroidism, dan sirosis hati.

Akhirnya, sejumlah obat-obat dapat menurunkan tingkat-tingkat sodium darah. Contoh-contoh dari ini termasuk obat-obat diuretics, vasopressin, dan sulfonylurea.

Gejala-Gejala Dari Hyponatremia (sodium darah yang rendah)

Ketika tingkat-tingkat sodium dalam tubuh rendah, air cenderung memasuki sel-sel, menyebabkan mereka membengkak. Ketika ini terjadi dalam otak, ia dirujuk sebagai cerebral edema. Cerebral edema adalah terutama berbahaya karena otak dibatasi/dikurung dalam tengkorak tanpa ruangan untuk ekspansi (perluasan), dan pembengkakan ini dapat menjurus pada kerusakan otak ketika tekanan meningkat didalam tengkorak.

Pada hyponatremia kronis, dimana tingkat-tingkat sodium darah jatuh secara berangsur-angsur melalui waktu, gejala-gejala adalah secara khas kurang parah dibanding dengan hyponatremia akut (kejatuhan yang tiba-tiba dalam tingkat sodium darah). Gejala-gejala dapat menjadi sangat tidak spesifik dan dapat termasuk:

* sakit kepala,
* kebingungan atau keadaan mental yang berubah,
* seizures, dan
* kesadaran yang berkurang yang dapat berlanjut pada koma dan kematian.

Gejala-gejala mungkin lainnya termasuk:

* kegelisahan atau keresahan,
* spasme-spasme otot atau kejang-kejang otot,
* kelemahan, dan kelelahan.

Mual dan muntah mungkin menyertai segala gejala-gejala.
Mendiagnosa Hyponatremia (sodium darah yang rendah)

Gejala-gejala dari hyponatremia adalah tidak spesifik, jadi tes darah yang mengukur tingkat sodium diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dari hyponatremia. Adakalanya sejarah medis (seperti muntah yang berkepanjangan atau berkeringat berlebihan) akan menyarankan diagnosis. Pada kasus-kasus lain, tes-tes darah, tes-tes urin, dan studi-studi imaging lebih jauh mungkin diperlukan dalam rangka untuk menentukan penyebab yang tepat dari hyponatremia.
Merawat Hyponatremia (sodium darah yang rendah)

Hyponatremia kronis yang ringan mungkin tidak memerlukan perawatan selain daripada penyesuaian-penyesuaian dalam makanan, gaya hidup, atau obat-obat. Untuk hyponatremia yang parah atau akut, perawatan secara khas melibatkan pemasukan secara intravena dari cairan-cairan atau elektrolit-elektrolit. Pada kasus ini obat-obat seringkali diperlukan yang merawat penyebab yang mendasarinya dari hyponatremia serta obat-obat untuk mengendalikan gejala-gejala yang menyertainya.

DEHIDRASI

Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada tubuh. Hal ini terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada pemasukan (misalnya minum). Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan gangguan keseimbangan zat elektrolit tubuh.
Dehidarasi terjadi karena
  • kekurangan zat natrium;
  • kekurangan air;
  • kekurangan natrium dan air.
Dehidrasi terbagi dalam tiga jenis berdasarkan penurunan berat badan, yaitu
Dehidrasi ringan (jika penurunan cairan tubuh 5 persen dari berat badan), dehidrasi sedang (jika penurunan cairan tubuh antara 5-10 persen dari berat badan), dan dehidrasi berat (jika penurunan cairan tubuh lebih dari 10 persen dari berat badan).
Selain mengganggu keseimbangan tubuh, pada tingkat yang sudah sangat berat, dehidrasi bisa pula berujung pada penurunan kesadaran, koma, hingga meninggal dunia, atau tidak. Dan Jangan coba-coba menurunkan berat badan dengan cara dehidrasi karena anda akan menanggung resiko gangguan pada ginjal anda.

HIPOVOLEMIA


HIPOVOLEMIA
a. Pengertian

  • Hipovolemia adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan ekstraseluler (CES).
  • Hipovolemia adalah penipisan volume cairan ekstraseluler (CES)
  • Hipovolemia adalah kekurangan cairan di dalam bagian-bagian ekstraseluler (CES)
b. Penyebab
Hipovolemia ini terjadi dapat disebabkan karena :
(1) Penurunan masukan
(2) Kehilangan cairan yang abnormal melalui : kulit, gastro intestinal, ginjal abnormal, dll.
(3) Perdarahan
c. Tanda-gejala Klinis
Tanda dan gejala klinik yang mungkin didapatkan pada klien dengan hipovolemia antara lain : pusing, kelemahan, keletihan, sinkope, anoreksia, mual, muntah, haus, kekacauan mental, konstipasi, oliguria.
Tergantung pada jenis kehilangan cairan hipovolemia dapat disertai dengan ketidak seimbangan asam basa, osmolar atau elektrolit. Penipisan (CES) berat dapat menimbulkan syok hipovolemik.
Mekanisme kompensasi tubuh pada kondisi hipolemia adalah dapat berupa peningkatan rangsang sistem syaraf simpatis (peningkatan frekwensi jantung, inotropik [kontraksi jantung] dan tahanan vaskuler), rasa haus, pelepasan hormon antideuritik [ADH], dan pelepasan aldosteron. Kondisi hipovolemia yang lama dapat menimbulkan gagal ginjal akut.
d. Pengkajian Fisik
Penurunan tekanan darah (TD), khususnya bila berdiri (hipotensi ortostatik); peningkatan frekwensi jantung (FJ); turgor kulit buruk; lidah kering dan kasar; mata cekung; vena leher kempes; peningkatan suhu dan penurunan berat badan akut. Bayi dan anak-anak : penurunan air mata, depresi fontanel anterior.
Pada pasien syok akan tampak pucat dan diaforetik dengan nadi cepat dan haus; hipotensi terlentang dan oliguria.

Tabel. 1. Penurunan berat badan sebagai indikator dari kekurangan CES pada orang dewas dan anak-anak.
kehilangan-cairan-bb
Tabel. 2. Pengkajian perubahan pada hipovolemia
indikator-hipovolemia
e. Tindakan
(1) Pemulihan volume cairan normal dan koreksi gangguan penyerta asam-basa dan elektrolit
(2) Perbaikan perfusi jaringan pada syok hipovolemik
(3) Rehidrasi oral pada diare pediatrik
Tindakan berupa hidrasi harus secara berhati-hati dengan cairan intravena sesuai pesanan / order dari medis.Catatan : Rehidrasi pada kecepatan yang berlebihan dapat menyebabkan GJK (gagal ginjal jantung kongestif)
(4) Tindakan terhadap penyebab dasar
f. Tanggung jawab Keperawatan
- Memantau tekanan vena sentral dengan cermat
- Memantau haluaran urine setiap 1 jam
- Mempertahankan keakuratan masukan dan haluaran cairan
- Menimbang badan setiap hari
- Menggunakan alat infus elektronik jika ada untuk mencegah kelebihan beban cairan
g. Riwayat dan faktor-faktor resiko
- Kehilangan GI abnormal : muntah, penghisapan NG, diare, drainase intestinal
- Kehilangan kulit abnormal : diaforesis berlebihan sekunder terhadap demam atau latihan, luka bakar, fibrosis sistik
- Kehilangan ginjal abnormal : terapi diuretik, diabetes insipidus, diuresis osmotik (bentuk poliurik), insufisiensi adrenal, diuresis osmotik (DM takterkontrol, pasca penggunaan zat kontras
- Spasium ketiga atau perpindahan cairan plasma ke interstisial : peritonitis, obtruksi usus, luka bakar, acites
- Hemorragia
- Perubahan masukan : koma, kekurangan cairan.
h. Pedoman Penyuluhan pasien-keluarga
Beri pasien dan orang terdekat instruksi verbal dan tertulis tentang hal berikut :
(1) Tanda dan gejala hipovolemia
(2) Pentingnya mempertahankan masukan adekuat, khususnya pada anak kecil dan lansia, yang lebih mungkin untuk terjadi dehidrasi
(3) Obat-obatan : nama, dosis, frekwensi, kewaspadaan dan potensial efek samping

SYOK HIPOVOLEMI

LATAR BELAKANG
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.
Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari artikel ini adalah syok hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya. Pembaca dianjurkan membaca artikel lain untuk mendiskusikan tentang patofisiologi dan penanganan syok hipovolemik akibat kehilangan cairan dibandingkan darah.
Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun 1900-an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik traumatik. Namun, peneliti terbaru telah mempertanyakan pedoman ini, dan sekarang, muncul kontraversi seputar penaganan optimal pada syok hemoragik.

PATOFISIOLOGI
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi. Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.

MANIFESTASI KLINIS
Riwayat Penyakit
• Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental.
• Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.
• Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor)
• Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri
• Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.
• Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah.
• Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri panggul.
• Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting.
o Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan.
o Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.
• Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat.
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.
• Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
o Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
o Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan.
o Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%
• Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
o Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan .
o Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.
• Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
o Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
o Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
o Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
• Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
o Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
o Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.
• Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis)
• Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan bagian luar tubuh.
o Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah, karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru.
o Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang menunjukkan cedera intraabdominal.
o Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-tanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).
o Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan luar.
• Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen. Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.
• Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun, pada perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai “double set-up” di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa.

Penyebab
Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah, gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan
• Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda tumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada tengkorak.
• Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena.
• Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok hemoragik antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory-Weiss tears, dan fistula aortointestinal.
• Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik umum terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Solusio plasenta Kehamilan ektopik
Aneurisma abdominal Perdarahan post partum
Aneurisma thoracis Trauma pada kehamilan
Fraktur femur Syok hemoragik
Fraktur pelvis Syok hipovolemik
Gastritis dan ulkus peptikum Toksik
Plasenta previa

MASALAH LAIN YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN
Perdarahan gastrointestinal
Trauma tembus

LANGKAH DIAGNOSIS
Pemeriksaan Laboratorium
• Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.
• Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.

Pemeriksaan Radiologi
• Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. .
• Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan.
• Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.
• Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.
• Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada.
• Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil.
• Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi.

PENATALAKSANAAN
Penanganan Sebelum di Rumah Sakit
Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut.
• Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dan kehilangan darah.
• Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.
• Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
• Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.
• Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.
• Pada tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perdebatan tentang penggunaan Military Antishock Trousers (MAST). MAST diperkenalkan tahun1960-an dan berdasarkan banyak kesuksesan yang dilaporkan, hal ini menjadi standar terapi pada penanganan syok hipovolemik sebelum ke rumah sakit pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an, “American College of Surgeon Commite on Trauma” memasukkan penggunaannya sebagai standar penanganan pasien trauma dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Sejak saat itu, penelitian telah gagal untuk menunjukkan perbaikan hasil dengan penggunaan MAST. “American College of Surgeon Commite on Trauma” tidak lama merekomendasikan penggunaan MAST.



Bidang Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi cairan.
• Memaksimalkan penghantaran oksigen
o Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
o Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman.
o Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.
o Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.
o Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).
o Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
o Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.
o Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.
• Kontol perdarahan lanjut
o Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.
o Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.
o Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan
o Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
o Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.
o Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.
o Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
o Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang berusaia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
• Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.
o Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru)
o Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.
o Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.
o Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.
• Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal sebelum control perdarahan.
o Selama perang dunia I, Cannon mengamati dan menandai pasien yang mengalami syok. Dia kemudian mengajukan suatu model hipotensi yang dapat terjadi pada perlukaan tubuh, dengan minimalisasi intensif perdarahan selanjutnya.
o Penemuan dari penelitian awal menunjukkan bahwa binatang yang mengalami perdarahan telah meningkat angka kelangsungan hidupnya jika binatang ini memperoleh resusitasi cairan. Namun, pada penelitian ini perdarahan dikontol dengan ligasi setelah binatang tersebut mengalami perdarahan.
o Selama perang Vietnam dan Korea, resusitasi cairan yang agresif dan akses yang cepat telah dilakukan. Tercatat bahwa pasien yang segera mendapatkan penanganan resusitasi yang agresif memperlihatkan hasil yang lebih baik, dan pada tahun 1970-an, prinsip ini diterapkan secara luas pada masyarakat sipil.
o Sejak saat itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah prinsip ini valid pada pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol. Sebagian besar dari penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan angka kelangsungan hidup pada hipotensi yang berat dan kasus yang terlambat ditangani. Teori ini mengatakan bahwa peningkatan tekanan menyebabkan perdarahan lebih banyak dan merusak bekuan darah yang baru terbentuk, di lain pihak hipotensi berat dapat meningkatkan risiko perfusi otak
o Pertanyaan yang belum terjawab dengan sempurna adalah sebagai berikut: mekanisme dan pola cedera yang mana yang disetujui untuk pengisian volume darah sirkulasi? Apakah tekanan darah yang adekuat, tetapi tidak berlebihan?
o Meskipun beberapa data menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 80-90 mmHg mungkin adekuat pada trauma tembus pada badan tanpa adanya cedera kepala, dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
o Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.

PENGOBATAN
Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi

Obat Anti Sekretorik
Obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta.

Somatostatin (Zecnil)
Secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit.
• Dosis
Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil
Anak-anak
Tidak dianjurkan
• Interaksi
Epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini.
• Kontraindikasi
Hipersensitifitas
Kehamilan
Risiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin.
• Perhatian
Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi jantung.

Ocreotide (Sandostatin)
Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama.
Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau pankreas.
• Dosis
Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari.
Anak-anak
1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W.
• Kontraindikasi
Hipersensitivitas
Kehamilan
Risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang.
• Perhatian
Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.

FOLLOW UP
Komplikasi
• Sekuele neurologi
• Kematian

Prognosis
• Prognosis tergantung derajat kehilangan cairan

SERBA-SERBI
Medicolegal Pitfalls
• Kesalahan yang umum terjadi pada penanganan syok hipovolemik adalah gagal mengenali keadaan ini secara cepat.
o Kesalahan ini menyebabkan keterlambatan diagnosis penyebab dan penanganan resusitasi pada pasien.
o Kekesalahan ini sering disebabkan oleh kepercayaan terhadap tekanan darah dan level hematokrit yang lebih besar dibandingkan tanda-tanda berupa penurunan perfusi perifer, dalam mendiagnosis.
o Beberapa cedera pada pasien yang mengalami trauma dapat terlewatkan, khususnya jika pemeriksa memusatkan perhatian hanya pada cedera yang kelihatan. Kesalahan ini dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan fisis yang lengkap, secara rutin dan ketat mengamati status pasien dan melakukan pemeriksaan serial.
o Pasien usia lanjut menunjukkan toleransi yang kurang terhadap keadaan hipovolemik dibandingkan populasi yang lain. Terapi yang agresif seharusnya diberikan segera untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, seperti infark miokard dan stroke.
o Pada pasien yang membutuhkan volume resusitasi yang cukup banyak, harus diperhatikan untuk mencegah hipotermia , karena hal ini dapat menyebakan aritmia atau koagulopati. Hipotermia dapat dicegah dengan menghangatkan cairan intravena yang digunakan untuk penanganan pasien,
o Pasien yang mengkonsumsi beta bloker, atau calcium channel bloker dan pada pengguna alat pacu jantung tidak menunjukkan respon takikardi terhadap hipovolemik; kurangnya respon ini dapat menyebabkan terlambatnya ditegakkan diagnosis syok. Untuk meminimalkan kemungkinan keterlambatan ini, pada anamnesis selalu ditanyakan riwayat pengobatan sebelumnya. Pemeriksa seharusnya juga mengandalkan tanda-tanda penurunan perfusi perifer selain takikardi.
o Koagulopati dapat terjadi pada pasien yang menerima resusitasi dalam jumlah yang besar. Hal ini terjadi karena dilusi platelet dan faktor pembekuan darah, tetapi jarang pada jam pertama resusitasi. Pengetahuan tentang dasar koagulasi seharusnya digambarkan dan sebagai panduan penanganan platelet dan fresh frozen plasma. 

[Untitled.jpg]